adbrite

Kamis, 30 Juni 2011

Sepatu Agus

Agus melangkah dengan lesu setelah menerima salinan rapornya yang baru saja ia terima dari bu Eti, guru wali kelasnya. Semua nilai mata pelajarannya menurun. Kepalanya tertunduk dalam ketika duduk kembali di mejanya. Konsentrasinya sudah benar-benar hilang. Bu Eti yang melanjutkan memanggil teman-temannya satu persatu untuk maju kedepan, sudah tidak terekam lagi di kepalanya. Pandangannya terpekur pada kedua ujung jempol kakinya yang tampak dari jendela sepatunya. Kedua ujung sepatunya ada lubang sehingga seperti jendela yang menganga. Kedua ujung jempol kakinya seperti kepala yang mengintip malu-malu. Ia malu dan benci sepatunya yang sudah aus dan tua itu. Ia menyesali kenapa ia hanya menjadi anak seorang penjual cilok. Untuk membeli sepatu saja tidak mampu. Ia merasa sedih dan benci kepada entah siapa. Setiap kali melihat teman-temannya yang selalu memakai sepatu bagus dan sering ganti-ganti. Ia ingin membuang jauh-jauh sepatu bututnya itu tapi kalau ia benar-benar membuang sepatunya itu, ia tidak punya sepatu lagi. Itu sepatu satu-satunya yang ia miliki. Ia kembali memandangi nilai-nilai yang berjajar rapi di salinan rapornya.

Membuatnya semakin sebel dan dongkol.
saat istirahat ia menyendiri, tidak ikut bermain dengan teman-temannya. Sudah beberapa hari ini ia sudah tidak bisa lagi menahan malu untuk bergabung dengan teman-temannya. Bahkan sering kali menghindari untuk berpapasan dengan teman-temannya. Ini semua gara-gara sepatunya yang sudah berjendela. Lagi-lagi ia ingin sekali membuang jauh-jauh sepatunya itu. Ia merasa, gara-gara sepatunya itu, teman-temanya menjauhi dirinya. Gara-gara sepatunya semua nilai pelajarannya menurun.


Bel pelajaran, tanda akhir pelajaran sudah menggema, semua murid menghambur keluar kelas masing-masing. Agus berjalan pulang sendiri. “Agus! Agus!” Suara Amir memanggil-manggilnya dari belakang tapi diabaikannya begitu saja. “Agus…tunggu!”, Amir berlari mengejar Agus.


Amir sudah berjalan beriringan dengan Agus. “Kita buat kelompok belajar yuk!”, kata Amir sambil terengah-engah. “Bulan depan kita akan menghadapi lomba cerdas cermatnya”, Amir menerangkan dengan semangat. Tapi Agus menanggapinya dengan lesu dan dongkol, “Aku tidak akan ikut lomba”, kata Agus dongkol lalu segera berlalu dari hadapan Amir. Ia berjalan sendiri menyusuri jalan sembari sesekali melirik kedua jempol kakinya yang muncul di depannya bergantian. Jempol-jempol itu seakan sudah tidak malu-malu lagi melongok dari jendela-jendelanya. Menelan kenyataan bahwa ia tidak ikut lomba cerdas cermat seperti menelan pil pahit yang berukuran sangat besar.


Sampai di rumah ia masuk kamar tanpa menyapa ibunya. Tanpa makan siang, ia terus mengurung diri di dalam kamar. Pikirannya melayang, seandainya ia jadi Faiz, pasti ia tidak akan mengalami seperti ini. Kedua orang tua Faiz adalah dokter semua. Seandainya ia jadi Doni, orangtuanya yang insinyur atau seandainya ia jadi Amir yang orang tuanya punya bengkel mobil yang besar. Ia akan bisa berganti-ganti sepatu setiap dua hari sekali dan ia akan punya sepatu olahraga sendiri.

“Nak, kamu sakit ya?”, tanya ibu lembut sambil menempelkan telapak tangannya ke kening Agus. Tapi dengan kesal Agus mengalihkan kepalanya dari tangan ibunya. “Ada apa?”, tanya ibu lembut. “makan dulu”, lanjut ibu.

“Tidak mau!”, jawab Agus kesal. Dengan sabar ibu mengelus kepala Agus. Ibu mengikuti pandangan Agus yang sedang tiduran tengkurap sambil menatap sepatunya. Ibu sudah tahu permasalahan yang dihadapi Agus. Beberapa hari lalu Agus sudah mengatakan pada ayah, bahwa sepatunya perlu diganti. Tapi ayahnya tidak punya cukup uang untuk membeli sepatu baru. Sekali lagi ibunya dengan lembut membelai kepala Agus.
Keesokan malamnya, saat Agus mengurung diri di kamarnya seperti biasa, Ayah memanggilnya. Ayah dan ibu sudah duduk di ruang depan, sekaligus ruang tamu.

”Ayah tadi bertemu bu Eti”, kata ayah. “Kamu tidak mau ikut lomba cerdas cermat ya?”, lanjut ayah.

“Agus malu yah dengan teman-teman”, jawab Agus tertunduk.

“Kenapa harus malu?”, tanya ayah lembut tapi berwibawa.

“Sepatu Agus sudah bolong-bolong”

“Nak, kita harus bersyukur dengan apa yang kita miliki. Coba lihat Adi. Ia tidak punya sepatu sama sekali. Ia sekolah tanpa memakai sepatu”, ayah menerangkan dengan lembut. Agus semakin tertunduk. Ia ingat bagaimana Adi selalu bertelanjang kaki ke sekolah. Kasihan dia, orangtuanya adalah pemulung.

“Janganlah sepatumu itu menghentikan kamu untuk belajar”, kata ayah semakin lembut. “Jangan sampai hanya karena sepatu, kamu menghentikan masa depanmu”, lanjut ayah lagi. Ruangan menjadi hening untuk sejenak, ”maafkan ayah, belum bisa membelikan sepatu untukmu”.

Tidak sepatah katapun yang diucapkan Agus. Ia justru merasa bersalah ketika ayahnya meminta maaf kepadanya. Seharusnya ia yang meminta maaf pada ayah dan ibunya karena selama ini tidak mau memahami situasi yang sebenarnya. Bahkan juga telah menyalahkan ayah dan ibunya. Kepalanya tertunduk semakin dalam.

“Nak, apa yang tidak bisa kamu kerjakan jangan sampai menghentikan apa yang bisa kamu kerjakan.”
Kata-kata ayah begitu cepat meresap ke dalam pikiran dan hati Agus. Sekarang ia menjadi tenang dan bahagia. Ia tidak lagi mempunyai rasa benci dan marah. Ia bersyukur masih punya sepatu. Ia bahagia dan bangga punya ayah dan ibunya. Ruangan itu sesaat menjadi hening lagi. Kepala Agus makin dalam tertunduk. Tak sadar air matanya menetes.

“Belajarlah terus nak”, kata ayah memecah keheningan. “Ayah dan ibu akan menabung untuk membeli sepatu baru saat kamu lomba nanti”.

“Iya yah”, kata Agus bersemangat. “Agus akan terus belajar dan ikut lomba. Agus tidak malu lagi dengan sepatuku. Aku malah bangga punya sepatu yang menyehatkan karena ada sirkulasi udaranya”. Semua tertawa mendengar seloroh Agus.

***

Sekarang Agus sudah tidak malu lagi dengan teman-temannya. Agus sudah menjadi seperti semula. Agus yang selalu riang, aktif, suka menolong teman-temannya dan cerdas. Ia sudah bisa bermain dengan teman-temannya lagi seperti tempo hari. Ia sudah nyaman dengan sepatu ventilasinya. Ternyata teman-temannya tidak berubah. Mereka tetap baik dengannya walaupun sepatunya tidak baru dan berlobang. Bersama-sama mereka belajar berkelompok untuk menghadapi lomba cerdas cermat. Even lomba ini memperebutkan trofi dari Gubernur. Mereka bertekad untuk memenangkan lomba itu.

Hari lombapun telah tiba. Ayah benar-benar memberi kejutan sepatu baru warna hitam. Agus bahagia sekali.

“Terima kasih ayah, ibu”. Ia menciumi dan memeluk erat-erat kedua orangtuanya. Dengan semangat yang berkobar-kobar, Agus, Amir dan Hana berangkat lomba dengan dilepas semua guru-guru dan teman-teman satu sekolah. Lomba ini disiarkan langsung oleh stasiun TV. Dengan cepat dan tangkas Agus dan teman-teman menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Hanya pada babak rebutan, satu pertanyaan yang tercecer tidak terjawab oleh mereka.

Akhirnya kerja keras Agus dan teman-temannya selama ini tidak sia-sia. Agus dan teman-teman berhasil memenangkan lomba. Mereka berhasil meraih nilai yang sangat tinggi. Dengan kebahagiaan yang tidak bisa dilukiskan, mereka menerima trofi langsung dari Gubernur. Mereka juga mendapat uang beasiswa, tas dan sepatu yang bagus-bagus yang tidak akan pernah terbeli oleh kedua orangtuanya. Setelah seremoni penyerahan trofi dan hadiah selesai, mereka diwawancarai banyak wartawan. Merekapun menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan tenang dan kebahagiaan yang tidak bisa disembunyikan.

Semua orang menyalami dan memberi selamat atas kemenangan mereka. Ternyata orang tua Amir dan Hana pun datang. Mereka memeluk dan menciumi Amir dan Hana dengan suka cita. Sejenak kebahagiaan Agus terhenti. Ia ingin sekali mendapat perhatian yang sama dari orangtuanya. Tapi dengan sigap ia ingat teringat kata-kata ayahnya. “Apa yang tidak bisa kamu kerjakan jangan sampai menghentikan apa yang bisa kamu kerjakan”. Ia tidak ingin menghentikan kebahagiaannya. Ia tidak ingin menghentikan perayaan kemenangannya. Dalam hati ia berharap ayah dan ibunya libur jualan dan menyaksikan dirinya lewat TV.

Terima kasih ayah, ibu.

 Chicken soup for the soul


Tidak ada komentar:

Posting Komentar